Senin, 07 Januari 2008

Cerita orang yang membudidayakan Diskus

Produktif atau Tidak, Tetap Disayang

Hampir dua tahun ini Yusni dikerjai ikan-ikannya. ''Mereka tidak mau produksi,'' katanya sambil memandangi puluhan ikan diskus yang berseliweran di akuariumnya.

Selama dua tahun terakhir ini, dr Ida Yusni Solichin disibukkan urusan remaja yang kecanduan narkoba. Buntutnya, ikan-ikan diskus warna-warni yang biasa diajak bercengkerama tiap pagi dan petang sepulang kantor pun mungkin merasa diabaikan.
''Mereka ngambek, tidak mau menghasilkan,'' katanya,''Bertelur saja ogah, apalagi menggendong anak.'' Akibatnya, dalam kurun waktu itu, tak ada perkembangbiakan yang berarti.

Bukan maksud Yusni memanjakan. Ikan air tawar asal Sungai Amazon, Brazil ini tergolong ikan sensitif dan mungkin juga suka 'gaul'. Bila diajak berkomunikasi, ia akan lebih aktif melenggak-lenggok.

Ikan bulat pipih itu dinamai diskus karena bentuknya seperti cakram. Sekarang, jumlah diskus Yusni sebanyak 22 pasang aneka warna yang terdiri dari jenis-jenis Marlboro, Blue Diamond, Solid Blue, Solid Red, Pigeon Blood, Cobalt, Snake Skin. Ikan-ikan itu menghuni akuarium di ruangan khusus yang terang dan bersih.

Untuk 'rumah' bagi akuarium itu, Yusni dan suaminya, M Solichin, sengaja membongkar taman di samping rumah di kawasan Utan Kayu, Jakarta. ''Sengaja dibuatkan ruangan untuk mereka,'' tutur ibu tiga anak yang kini menjabat Kasubdit Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial itu.

Monogami
Yusni dan Solichin memang penggemar ikan. Mereka berdua juga gemar memancing dan mengikuti berbagai lomba. Sedangkan urusan pemeliharaan ikan diawali suami Yusni dari ikan cupang yang populer sebagai ikan aduan.

Diskus mulai memasuki kehidupan keluarga ini pada tahun 1980-an. Kala itu ikan ini belum lagi populer. Ia membeli 10 ekor jenis Cobalt di Setiabudi, Jakarta. ''Saya ingat betul, dulu masih mahal, harganya Rp 15.000-an,'' kenang Yusni. Jenis yang sama sekarang Rp 2.500.

Untuk lima pasang ikan itu dibuatkan lima akuarium. Mereka pun beranak-pinak sampai ia harus menambah lima akuarium lagi. Suatu hari ada seseorang yang menanyakan apakah Yusni ingin menjual ikan-ikannya. Ia sempat terheran-heran. ''Ternyata laku juga,'' katanya.

Rupiah pun mengucur dari akuarium-akuarium itu. Tiap bulannya, dari sekitar 20-an pasang bisa menghasilkan 500 diskus. Ikan itu diambil eksportir untuk dikirim ke Belanda, AS, dan Singapura. ''Di Singapura ikan itu disortir, dijual lebih mahal,'' katanya. Ia sendiri menjual seharga Rp 20.000-an, untuk Blue Diamond.

Ia mengakui, bila bisnis diskus ini ditekuni, hasilnya lebih besar dari praktek dokter. ''Tapi, ini hobi, bukan bisnis,'' katanya. Itulah sebabnya, meskipun saat ini ikan-ikannya tidak berproduksi, Yusni tetap merawat mereka baik-baik.

Untuk itu pula, psikiater di Rumah Sakit Afia, Jakarta Pusat ini tak segan mengeluarkan sekitar Rp 400.000 untuk makanan ikan. Dengan waktu makan tiga kali sehari, melahap larva blood worm sebanyak 6 ons.

Ikan-ikannya boleh jadi tengah macet berproduksi besar-besaran, tapi Yusni punya rencana lain. Ia ingin menghasilkan ikan dengan warna-warna baru. Salah satunya, ia ingin menghasilkan polos kuning dengan menjodohkan Marlboro dengan Si Blue Diamond. ''Kalau bisa jadi harganya mahal, Rp 10 juta,'' kata bendahara Kelompok Diskus Indonesia, organisasi yang beranggota sekitar 100 orang ini.

Tak cuma warna. Diskus pun dinilai dari rupanya. Semakin bagus dia bila bentuknya semakin mirip cakram. ''Jadi, mulutnya tidak mencuat,'' jelas wanita yang gemar bercocok tanam dan juga menyulam ini.

Menjodohkan diskus, diakuinya, susah-susah gampang. Pasalnya, ikan ini sensitif dan monogamis. Bila pasanganya mati, ia tak mudah pindah 'ke lain hati'. Walhasil, saat diberi pasangan baru, ia marah. ''Pasangan barunya dipukul-pukul pakai ekornya,'' jelas Yusni.

Sekali bertelur, seekor ikan bisa menghasilkan 200 hingga 300. Namun, tak semuanya jadi. Bila telur yang dibuahi menetas, ikan-ikan kecil akan menempel pada tubuh ikan betina. Sebab, ikan muda makan lendir pada tubuh ikan dewasa itu. Namun, seringkali ikan betina itu menyantap ikan-ikan kecil yang menumpang pada badannya.

Untuk menjaga kesehatan ikan-ikannya, air akuarium harus diganti tiap harinya. Airnya pun harus dibersihkan lebih dulu dari kaporit. Kotoran ikan pun harus segera disingkirkan dengan alat penyedot.

Bila dibiarkan, kotoran yang mengandung amoniak ini bisa menghambat pertumbuhan ikan. ''Ikan-ikan itu jadi kerdil,'' katanya. Malam hari pun bukan halangan baginya untuk menyedot kotoran yang menempel di dasar akuarium.

Ikan-ikan Yusni memang indah. Namun, jangan berharap bisa duduk menikmatinya di ruang akuarium. Ruangan berukuran 3x4 meter itu panas dan pengap. Maklum, lubang-lubang anginnya ditutup. ''Udaranya disesuaikan kebutuhan ikan,'' katanya. Diskus yang umurnya bisa mencapai 4 tahun ini membutuhkan suhu 25-27 derajat Celcius.

Yusni mengaku memperoleh ketenangan dari hobi merawat ini. ''Mereka itu indah, gerakannya gemulai, warnanya cantik,'' ujarnya sambil menggerakkan tangannya dengan halus, menirukan gerak peliharaannya.

Ia percaya, memandangi ikan-ikan peliharaan itu bisa mempengaruhi karakter si pemilik. ''Bisa menimbulkan ketenangan.''
Lain halnya, katanya, dengan ikan arwana. ''Dia gagah berani, mencaplok mangsanya dengan tenang. Biasanya mempengaruhi sifat kita, dalam bisnis mencaplok-caplok ha...ha...ha...''
poy ()

Tidak ada komentar:

Google